Julio de la Basez (tengah) usai laga lawan
Sogol pada 9 Agustus 2009 (ft: kholili indro)
--------------------------------------------
Julio de la Basez bangkit kembali dalam tinju profesional (pro) nasional. Padahal, dia sempat limbung, karena frustrasi tidak mendapat job bertanding.
----------
Dalam dunia tinju pro, nama Julio de la Basez tidak begitu asing. Sebab, dia sejak sangat muda sudah menggeluti olahraga keras tersebut. Bahkan ketika masih bergabung di Sasana Sawunggaling pada 1990-an, dia sudah mencatatkan dirinya sebagai petinju termuda yang juara nasional KTI (Komisi Tinju Indonesia) untuk kelas terb
ang mini. Saat itu, usia Basez baru 18 tahun.
Dalam usia yang sangat muda tersebut, Basez mampu mempertahankan gelarnya hingga delapan kali berturut-turut. Sebuah rekor yang sulit dibukukan, mengingat tinju pro nasional saat itu begitu gemerlap dengan bayaran yang cukup menjanjikan.
Namun, Basez kehilangan gelar setelah dikalahkan oleh petinju Thailand dalam perebutan sabuk PABA. Dia juga gagal bertanding di Afsel bersama Andrian Kaspari karena diindikasi terkena virus hepatitis oleh dokter Afsel.
Basez mengalami puncak kegetiran setelah promotor Aseng Hery Sugiarto meninggal 2004. Dunia tinju pro Jatim jadi sepi pertandingan. Banyak sasana yang kolaps, bahkan di antaranya memvakumkan diri. Basez pun banting setir untuk menghidupi keluarganya. Dia bekerja apa saja, termasuk menjadi penjaga salah satu perusahaan di Surabaya.
Namun, publik tinju Jatim kembali disuguhi prestasi Basez sebagai juara nasional versi KTPI (Komisi Tinju Profesional Indonesia), sebuah organisasi tinju pecahan KTI.
Dalam pertandingan nongelar melawan Sogol (Majapahit BC) 9 Agustus lalu, dia juga mampu membuktikan kemampuannya. Dia mampu menganvaskan Sogol dengan KO pada ronde ketiga. Itu adalah hadiah terbaik bagi ulang tahunnya yang ke-30. ’’Saya bangga karena bisa meraih prestasi terbaik di usia yang tidak muda. Ya, tua-tua keladi, makin tua makin jadi,’’ kelakar Basez.
Julio de la Basez adalah nama julukan di atas ring. Sebab, nama sebenarnya ialah La Ode Zainudin Bases. Nama Basez diambil dari gabungan nama kedua orang tuannya. Yaitu, Baenda dan Sese. Baenda adalah nama kecil ayahnya, yaitu La Ode Baendah, sedangkan Sese adalah nama panggilan ibunya, Wa Ode Sese.
Pria kelahiran, Desa Wa’i, Maluku Tengah, tersebut, awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi petinju pro. PAsalnya, Basez mudah adalah pemain sepak bola dan bulu tangkis andalan sekolahnya.
’’Saya dulu adalah pemain bola di kampung yang biasa mengikuti kejuaraan antarkampung (tarkam), sedangkan bulu tangkis sekadar hobi,’’ ungkap Basez.
Nah, apa yang memotivasinya menjadi petinju? Kebiasaannya berkelahi sejak di sekolah dasar membuat dia beralih hobi dari sepak bola ke tinju.
Sejak di sekolah dasar, Basez akrab dengan perkelahian. Hampir seluruh siswa pria di sekolahnya pernah merasakan tonjokan ayah empat anak itu. Atas kelakuannya tersebut, Basez harus berpindah-pindah sekolah.
’’Saya dulu nakal. Pernah ada dua siswa yang menyerangku bersamaan. Mereka saya kalahkan setelah giginya rontok,’’ kenangnya.
Kebiasaan berkelahi di sekolah tersebut membuat Basez ingin bergabung dengan sasana tinju pro. Tepatnya pada 1993, Basez yang masih terdaftar sebagai siswa SMA itu bergabung dengan Sasana Sawunggaling. Kebetulan, sasana yang bermarkas di Surabaya tersebut sedang mencari bibit tinju di Ambon.
Namun, selama menggeluti tinju pro, Basez beberapa kali stres berat. Dunia malam serta minuman keras menjadi teman hidupnya pada 2002 dan berlanjut hingga 2004. Itu terjadi setelah dia ditinggal oleh satu-satunya anak laki-lakinya –Julius de la Bases Jr– serta promotor idolanya, Aseng.
’’Setelah Pak Aseng meninggal, konsentrasi tinju saya mulai menurun. Akhirnya, dunia malam menjadi pelampiasan. Tidak hanya itu, pulang pagi juga bagian rutinitas saya,’’ terang pria berbadan kekar tersebut.