24 Juli 2009

Gairah Tinju Pro Bernama Rokatenda

Sasana Rokatenda Sidoarjo bukan sasana top di Jawa Timur. Pamornya masih kalah dengan Sasana Pirih, Sawunggaling Surabaya, dan Javanoea Malang. Tapi, di tengah tinju pro yang meredup di Jatim, kehadiran Rokatenda tak bisa diabaikan.
-------------

Sasana di kawasan Pondok Tjandra, Sidoarjo, tersebut menjadi salah satu sasana tinju pro di Jatim yang sering muncul di media. Itu tidak disebabkan kedekatan wartawan dengan sasana milik Damianus Wera itu, namun karena aktivitasnya yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa pertandingan di Jakarta diikuti petinjunya. Bukan hanya kejuaraan, tapi juga pertandingan non kejuaraan. Bahkan, beberapa petinjunya mampu menjadi juara nasional, baik di ATI (Asosiasi Tinju Indonesia) maupun KTPI (Komisi Tinju Pro Indonesia). Dua badan tinju tersebut adalah organisasi baru tinju Indonesia setelah KTI (Komisi Tinju Indonesia), badan tinju pro tertua di Indonesia yang masih eksis.
Gairah dua badan tinju baru itu dimanfaatkan Rokatenda untuk menyalurkan bakat dan potensi petinjunya. Damianus menyadari betul betapa menderitanya para petinjunya jika tidak bertanding. Berlatih adu jotos terus tentu akan sangat membosankan. Untuk apa latihan dengan muka lebam dan bangkak kalau tidak bertanding. Okelah, bayaran tidak seberapa, tapi bertanding akan serasa mengobati lebam-lebam di wajah saat berlatih.
Karena itu, meski bayaran pertandingan di ATI dan KTPI tidak terlalu besar, Damianus mempersilakan petinjunya bertanding di Jakarta. Memang ada kesan ’’jual murah’’, namun keputusan tersebut cukup membantu mengatasi minimnya pertandingan di Jatim. Beberapa petinjunya pun punya semangat baru. Dengan menarik pelatih pengalaman Yani Malhendo, beberapa petinjunya bisa menjadi juara nasional, seperti Tomy Seran (kelas terbang junior ATI) dan Julio de la Basez (KTPI). Rokatenda juga memiliki petinju lain yang cukup menjual di kedua badan tinju tersebut, yakni La Amir Laila dan Robert Kopa.
Bukan hanya itu yang membuat Damianus makin bergairah. Sasananya sekarang setiap pagi dan sore selalu ramai saat berlatih. Bahkan, tak jarang sasana lain ikut nimbrung latihan bersama, seperti Sasana Amphibi Sidoarjo maupun sasana lain. Bahkan, Damianus yang membuka praktik pengobatan alternatif itu memberikan hadiah sepeda motor kepada petinjunya yang juara, yakni Tomy Seran dan Julio Basez.
Hadiah motor tersebut tentu sangat berharga bagi kedua petinju itu, apalagi bayaran dari kontrak pertandingan tidak cukup menjanjikan untuk kehidupan mereka. Pengalaman pahit Tomy Seran yang sampai tidak bisa membeli sabun ketika tidak bertanding adalah bukti betapa menderitanya dia.
Untuk pertandingan mempertahankan gelar juara di Jakarta, seorang petinju Rokatenda dibayar Rp 3,5 juta, sedangkan pertandingan merebut gelar hanya Rp 2,5 juta. Mereka masih harus membayar tiket transportasi pulang pergi dan makan selama di Jakarta. Sementara itu, penginapan sudah disiapkan promotor.
Kondisi tersebut berbeda dengan era 1990-an dan 2000-an. Untuk perebutan gelar juara, seorang petinju bisa mendapatkan Rp 4 juta, tidak perlu membayar tiket transportasi, makan, dan penginapan. Untuk mempertahankan gelar, petinju masih bisa mengantongi Rp 7 juta sampai Rp 10 juta, bergantung kualitas dan pamor seorang petinju.
Perbedaan harga kontrak yang jomplang itu membuat beberapa sasana sekarang harus menghitung ulang ongkos untuk menghidupi sasananya. Yang pakai kalkulator bisnis tentu berpikir panjang melanjutkan membina petinju. Karena itu, banyak sasana yang kemudian tiarap. Ada nama tapi tidak ada aktivitas.
Rokatenda, tampaknya, berbeda. Damianus yang mendirikan sasana itu bersama Promotor Aseng Hery Sugiarto (alm) tidak berpikir bisnis. Dia rela mengeluarkan uang untuk menghidupkan sasananya.
Dia juga tidak memilih-milih badan tinju untuk menyalurkan karir petinjunya. Di mana pun badan tinjunya, jika itu menjadi kesempatan petinjunya untuk berkarir, dia akan berikan. Padahal, dia adalah pengurus KTI Jatim. (kholili indro)

Tidak ada komentar: