07 September 2008

Enggan Potong Uang Petinju, Siap Tombok Sepanjang Tahun


Dunia tinju Jawa Timur bisa dikatakan hidup segan mati tak mau. Hanya ada beberapa sasana yang masih eksis. Salah satunya Rokatenda, milik Damianus Wera, yang bermarkas di Pondok Candra.
------------

Sore itu Sasana Rokatenda cukup ramai. Suara gedebuk pukulan dan dengus napas petinju seolah saling mengejar silih berganti. Sang empunya sasana, Damianus Wera, berdiri gagah menyaksikan para petinju sedang berlatih.
Meski tak ikut terjun melatih, Damianus tak segan memotivasi para petinju yang mulai lelah itu. ”Bases, kamu harus latihan serius. Bulan depan kamu akan bertanding. Kalau kamu tidak serius, saya pulangkan kamu,” teriak dia kepada Julio Bases, petinjunya.
Ya, bulan depan bersama sembilan petinju Rokatenda lainnya, boxer kelas terbang 50,8 kg tersebut akan naik ring di salah satu stasiun televisi di Jatim. Rencananya, pertandingan tersebut melibatkan banyak sasana tinju di Jatim. Bahkan, sangat mungkin dari luar Jawa.
Damianus tentu tak ingin anak buahnya menuai malu dalam pertandingan tersebut. Sebab, dialah aktor utama di balik layar even itu.
Keputusan menghelat even tersebut tak lepas dari rasa prihatinnya atas kondisi tinju pro di Jawa Timur. Gairah tinju di Jatim saat ini sedang lesu. Itu tak bisa dipisahkan dari meninggalnya raja tinju tanah air, Aseng Hery Sugiarto, pada Desember 2004.
”Ketika masih hidup, beliau (Aseng, Red) memberikan amanat agar saya turut memajukan tinju di Jatim. Karena itu, saya memulai dari sekarang. Saya berharap bisa menggulirkannya secara rutin,” jelasnya.
Damianus memang kenal baik dengan Aseng. Itu semua berawal pada 1980-an, saat dia masih berstatus petinju amatir. Hubungan tersebut berlanjut kian dekat ketika dia tinggal di Surabaya.
Pada 2003, saat Aseng menyelenggarakan kejuaraan tinju di Flores, dia diperintah untuk mendirikan sasana tinju. Merasa tinju sudah mengalir dalam darahnya, pada 2004 Damianus langsung mendirikan sasana tinju di Surabaya. Rokatenda dijadikan nama sasana itu. Nama tersebut dicomot dari nama sebuah gunung di Flores.
”Gunung melambangkan kekuatan. Filosofinya, kami ingin menjadi yang terbaik dan terkuat di dunia tinju,” ujar pria kelahiran 27 Januari 1960 tersebut.
Namun, setelah empat tahun berdiri, tak ada keuntungan yang dipetik oleh pria kelahiran Flores itu. Bahkan, dia selalu tombok untuk mengurusi sasana tersebut.
”Tiap bulan, tak kurang dari 2,5 juta saya keluarkan untuk biaya makan dan minum anak-anak. Tapi, sampai sekarang saya belum mendapatkan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai keuntungan. Tapi, tak apa-apa. Saya memang tidak membebani anak-anak jika mereka mendapatkan uang setelah bertanding,” terangnya.
Ya, selama ini dia memang tidak pernah menarik bagian bila anak asuhnya mendapatkan komisi setelah bertanding. Dia merasa masih belum layak untuk mengurangi jatah yang menjadi hak anak asuhnya. Pasalnya, anak asuhnya belum menyandang gelar juara.
”Saya serahkan semuanya kepada anak-anak untuk membagi dengan pelatih. Memang belum untung. Bahkan, selalu tombok. Soalnya, kalau harus bermain di luar kota, mereka pasti naik pesawat. Selain itu, mereka pasti menginap di hotel. Padahal, uang yang diterima belum tentu besar. Silakan bayangkan sendiri,” tuturnya sembari mengulum senyum.
Kendala terberat ialah minimnya intensitas pertandingan tinju di Jatim. Selama ini para petinjunya selalu menunggu undangan dari Jakarta maupun Semarang untuk berjibaku di atas ring. Itulah yang membuatnya merasa berdosa kepada mendiang Aseng.
”Karena itu, saya mulai merintis menyelenggarakan pertandingan secara rutin. Saya masih terngiang-ngiang dengan amanat Pak Aseng untuk memajukan dunia tinju. Jadi, kalau Anda tanya apakah saya ingin menjadi Aseng baru, jawabannya iya,” tegas pria yang berprofesi sebagai ahli pengobatan alternatif tersebut.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Moga2 usaha Om Dami ini bisa mengangkat kembali potensi petinju2 di Jatim. Salam buat Bung KO!